Monday, February 3, 2014

QADHA’ dan QADAR Kajian Surat Ali Imran/3: 145 dan surat Al-Nisa’/4: 78-79 Oleh: Najmi Arjuna


QADHA’ dan QADAR
Kajian Surat Ali Imran/3: 145 dan surat Al-Nisa’/4: 78-79

  
  A.    Teks Ayat
   1.      Surat Ali Imran/3: 145

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا          وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ


   2.      Surat Al-Nisa’/4: 78-79

أَيۡنَمَا تَكُونُواْ يُدۡرِككُّمُ ٱلۡمَوۡتُ وَلَوۡ كُنتُمۡ فِى بُرُوجٍ۬ مُّشَيَّدَةٍ۬‌ۗ وَإِن تُصِبۡهُمۡ حَسَنَةٌ۬ يَقُولُواْ هَـٰذِهِۦ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ‌ۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٌ۬ يَقُولُواْ هَـٰذِهِۦ مِنۡ عِندِكَ‌ۚ قُلۡ كُلٌّ۬ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ‌ۖ فَمَالِ هَـٰٓؤُلَآءِ ٱلۡقَوۡمِ لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثً۬ا) ۷۸(
مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٍ۬ فَمِنَ ٱللَّهِۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ۬ فَمِن نَّفۡسِكَۚ وَأَرۡسَلۡنَـٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً۬ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَہِيدً۬ا۷۹ (

  B.     Tarjamah al-Ayat
   1.      Surat Ali Imran/3: 145
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang tertentu waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS. Ali Imran/3:145)[1]

   2.      Surat  Al-Nisa’/4: 78-79
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?  (QS. Al-Nisa’/4: 78)

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. (QS. Al-Nisa’/4: 79)[2]

C.    Makna Ijmali
Rukun iman yang keenam, atau tingkatan kepercayaan yang paling akhir ialah qadha dan qadar. Ringkasan kepercayaan ini ialah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam alam ini atau terjadi pada diri kita manusia sendiri, buruk dan baik, naik dan jatuh, senang dan sakit, dan segala gerak-gerik hidup kita, semuanya tidaklah lepas pada “taqdir” atau ketentuan Illahi. Tidak lepas dari pada qadar artinya jangka yang telah tertentu, dan qadha artinya ketentuan. Qadha dan qadar selalu berhubungan erat, qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah SWT sejak zaman Azali. Sedangkan qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah SWT. Jadi hubungan antara qadha dan qadar ibarat rencana dan perbuatan.
  D.    Pengertian Istilah
Qadha menurut bahasa yaitu hukum, ketetapan, perintah, kehendak, pemberitahuan, dan penciptaan. Sedangkan menurut istilah, qadha ialah ketetapan Allah SWT sejak zaman Azali sesuai  dengan iradah-Nya, tentang segala sesuatu yang berkenaan dengan makhluk ciptaan-Nya. Qadar menurut bahasa yaitu kepastian, peraturan, dan ukuran. Sedangkan menurut istilah, qadar adalah perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah SWT terhadap semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya. Sebenarnya, qadha dan qadar ini merupakan dua masalah yang saling berkaitan, tidak mungkin satu sama lain terpisahkan oleh karena salah satu di antara keduanya merupakan asas atau pondasi dari bangunan yang lain. Maka, barangsiapa yang ingin memisahkan di antara keduanya, ia sungguh merobohkan bangunan tersebut
Qadha dan qadar selalu berhubungan erat. Qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah SWT sejak zaman Azali. Sedangkan qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah SWT. Jadi hubungan antara qadha dan qadar ibarat rencana dan perbuatan.
Perbuatan Allah SWT berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan ketentuan. Di dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah SWT berfirman : Dan tidak sesuatupun melainkan disisi kami-lah khazanahnya, dan kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”.
Orang kadang menggunakan istilah qadha dan qadar dengan satu istilah, yaitu qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah, lalu orang tersebut mengatakan, “sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar.
Kita harus yakin dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi kepada diri kita, baik yang baik maupun yang buruk adalah kehendak Allah SWT. Sebagai seorang yang beriman, kita mesti ikhlas menerima segala ketentuan Allah SWT atas apa yang ditentukannya kepada diri kita.
Di dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: 
”Barangsiapa yang tidak ridha dengan qadha-Ku dan qadar-Ku, dan tidak sabar terhadap bencana-Ku yang aku timpakan atasnya, maka hendaklah mencari Tuhan selain Aku. (H.R.Tabrani)
Takdir Allah SWT merupakan iradah atau kehendak Allah SWT. Oleh sebab itu takdir tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir atas diri kita sesuai dengan keinginan kita, hendaklah kita beresyukur karena hal itu merupakan nikmat yang diberikan Allah SWT kepada kita. Ketika takdir yang kita alami tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin, bahwa di balik musibah itu ada hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya. Allah SWT maha mengetahui atas apa yang diperbuatnya.
 Ø  Macam-macam takdir
  a.       Takdir Mua’llaq
Takdir mua’llaq yaitu takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Sebagai contoh yaitu orang yang memiliki cita-cita. Dan untuk mencapai cita-citanya tersebut dia terus menerus berusaha agar cita-citanya tersebut tercapai, dan kemudian apa yang dia cita-citakan tercapai. Dalam hal ini Allah SWT berfirman : “……Sesungguhnya Allah SWT tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan mereka sendiri……”(Q.S. Ar-Rad : 11)

  b.      Takdir Mubram
 Takdir mubram takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia. Contoh. Ada orang yang dilahirkan dengan mata sipit , atau dilahirkan dengan kulit hitam sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya.
  E.     Asbab al-Nuzul
·           Surat Ali Imran/3: 145

1.      Asbabun nuzul ayat ini berhubungan dengan asbabun nuzul ayat sebelumnya yaitu “Dan Muhammad hanyalah seorang rasul;...” Ibnu Munzir  meriwayatkan dari Umar, dia berkata “ ketika peperangan Uhud, kami berpisah dengan Rasulullah. Lalu saya mendaki Gunung Uhud, disana saya mendengar orang-orang berkata. ‘Muhammad telah terbunuh’. Maka saya membatin, “ tak seorangpun mengatakan bahwa Muhammad telah terbunuh kecuali akan saya bunuh ”
Ketika saya perhatikan ke bagian bawah Gnung Uhud, saya melihat Rasulullah dengan orang-orang sedang kembali. Lalu turun firman Allah, ‘Dan Muhammad hanyalah seorang rasul;...”.

2.      Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari ar-rabi’, dia berkata “ketika kekalahan menimpa orang-orang muslim dan mereka berteriak-teriak memanggil Rasulullah, orang-orang berkata, ‘Rasulullah telah terbunuh.’ Maka sekelompok orang berkata, ‘seandainya dia seorang nabi, tentu tidak akan terbunuh.’ Dan sekelompok orang lainnya berkata, ‘berperanglah demi sesuatu untuknya Nabi kalian berperang, hingga Allah memenangkan kalian atau kalian menyusul beliau.’ Lalu Allah menurunkan firmannya ‘Dan Muhammad hanyalah seorang rasul;...”.

·           Surat Al-Nisa’/4: 78-79
Seperti halnya asbabun nuzul ayat diatas, sebab-sebab turunnya ayat ini masih berhubungan dengan ayat sebelumnya yaitu mengenai keengganan beberapa sahabat untuk berperang. An-Nasa’i dan Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Abdurrahman bin Auf dan beberapa rekannya mendatangi Nabi saw, lalu mereka berkata “ Wahai nabi allah ketika kami masih musyrik, kami adalah orang-oarang yangn mulia. Namun ketika kami beriman, kami menjadi orang-orang yang hina.” Rasul pun bersabda “sesungguhnya akau diperintahkan untuk memaafkan. Maka jangan kalian perangi orang-orang musyrik itu.” Ketika Beliau hijrah ke Madinah, Beliau diperintahkan untuk memerangi musuh, Namun orang-orang tadi (Abdurrahman bin Auf dkk.) enggan melakukannya. Maka turunlah firman Allah “Tidakkan engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tanganmu (dari berperang),...” hingga akhir ayat.

  F.     Tafsir al-Ayat
1.    Surat Ali Imran/3: 145
Al-Biqa’i menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumya dengan berkata bahwa kematian pimpinan pendukung-pendukung suatu agama tidak wajar dijadikan sebab untuk mengelak dari pertempuran dan meninggalkan medannya, kecuali jika kematian itu terjadi tanpa izin Tuhan, pemilik agama itu.[3] Di sisi lain , meninggalkan medan perang tidak akan ada manfaatnya kecuali jika itu menjadi sebab keselamatan. Kalau tidak demikian, dalam arti kalau kematiannya tidak dapat terjadi kecuali atas izin-Nya, dan lari dari medan perang tidak menjadi sebab panjang atau pendeknya usia, maka apa yang dilakukan oleh sebagian peserta perang Uhud adalah sesuatu yang sangat tidak pada tempatnya. Inilah pesan yang dikandung dalam ayat ini, yakni sesuatu yang bernyawa makhluk apa pun ia, dan setinggi apa pun kedudukannya dan kemampuannya tidak akan mati dengan satu dan lain sebab melainkan dengan izin Allah, yang memerintahkan kepada malaikat maut untuk mencabut nyawanya, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya sehingga tidak akan bertambah usia itu dengan lari dari peperangan tidak juga berkurang bila bertahan dan melanjutkan perjuangan.
Firman-Nya: ( وَمَا كَانَ )  dari segi bahasa pada mulanya berarti tidak wajar. Ketika kata itu dikaitkan dengan kematian satu jiwa ( لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ ), maka terjemahannya secara harfiah adalah “Tidak wajar satu jiwa mati ..” redaksi ini menimbulkan pertanyaan, karena jika anda berkata: “Tidak wajar yang ini”, maka akan timbul pertanyaan, “Apa yang wajar?” dan ketika itu terkesan adanya pilihan. Nah, sekali lagi timbul pertanyaan: “Apakah ada yang wajar atau tidak wajar untuk menentukan datangnya kematian? Adakah pilihan bagi seseorang menyangkut kematian?” Tentu saja jawabannya: “Tidak ada!” Jika demikian, mengapa ayat ini berbunyi seperti itu? Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi memberi jawaban sebagai berikut: “Seandainya ada seseorang yang akan membunuh dirinya , maka dia tidak akan mati (walau usahanya telah maksimal) kecuali sudah izin Allah kepada malaikat maut untuk mencabut nyawanya. Kalau yangn mau membunuh diri saja tidak dapat mati kecuali seizin-Nya, maka lebih-lebih mereka yang memelihara dirinya. Hal tersebut demikian, karena ajal telah ditentukan Allah, dan dengan demikian, tidak wajar seseorang menghindar dari peperangan karena takut mati.”[4]

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا  
Allah menyatakan: "semua yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin-Nya, tepat pada waktunya sesuai dengan yang telah ditetapkan-Nya. Artinya persoalan mati itu hanya di tangan Tuhan, bukan di tangan siapa-siapa atau di tangan musuh yang ditakuti. Dalam hal ini keimanan terhadap qadha’ dan qadar sangatlah diperlukan, karena jika kita meyakini tentang qadha’ dan qadar tentu kita akan berserah diri kepada Allah tentang urusan yang sudah pasti urusan Allah yaitu salah satunya adalah tentang ajal. Ayat  Ini merupakan teguran kepada orang-orang mukmin yang lari dari medan perang Uhud karena takut mati, dan juga merupakan petunjuk bagi setiap umat Islam yang sedang berjuang di jalan Allah seterusnya Allah memberikan bimbingan kepada umat Islam bagaimana seharusnya berjuang di jalan Allah dengan firman-Nya:
وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ نُؤْتِهِ مِنْهَا
Artinya:
Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula)kepadanya pahala akhirat.(Q.S Ali Imran: 145)
Ini berarti setiap orang Islam harus meluruskan dan membetulkan niatnya dalam melaksanakan setiap perjuangan. Kalau niatnya hanya sekadar untuk memperoleh balasan dunia, biar bagaimanapun besar perjuangannya maka balasannya hanya sekadar yang bersifat dunia saja. Dan barang siapa yang niatnya untuk mendapat pahala akhirat, maka Allah akan memberikannya dan juga memberikan bagian dari dunia kepadanya. Sebagaimana Allah SWT telah berfirman: “Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki  dan Kami tentukan baginya Neraka Jahannam; ia memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha kearah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.”(QS. al-Israa’: 18-19)
Oleh karena itu, di sini Allah berfirman  وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ “Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” Maksudnya, Allah akan memberikan karunia dan rahmat, di dunia dan akhirat sesuai dengan rasa syukur dan amal mereka.

2.      Surat Al-Nisa’/4: 78-79
      
 أَيۡنَمَا تَكُونُواْ يُدۡرِككُّمُ ٱلۡمَوۡتُ وَلَوۡ كُنتُمۡ فِى بُرُوجٍ۬ مُّشَيَّدَةٍ۬                                        
“dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkanmu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh”. Yaitu kalian pasti akan menuju kematian, tidak akan ada seorang pun yang akan selamat darinya. Sebagaimana Allah berfirman “semua yang ada di bumi itu akan binasa” (QS. ar-Rahmaan:26). Maksudnya, bahwa setiap orang pasti menuju kematian, suatu hal yang pasti dan tidak ada sesuatu pun yang menyelamatkan dirinya, baik ia berjihad ataupun tidak. Karena ia memiliki batas yang telah ditetapkan dan tempat yang telah dibagi-bagi.[5]
       Firman-Nya     وَلَوۡ كُنتُمۡ فِى بُرُوجٍ۬ مُّشَيَّدَةٍ۬   “sekalipun kamu berada di dalam benteng musyayyadah”. Yaitu benteng yang kuat, kokoh, tinggi menjulang. Maksudnya, lari dan berlindung dari kematian tidaklah bermanfaat. Karena apapun yang terjadi yang pasti adalah satu bahwa kematian itu pasti datang kepada setiap yang bernyawa. Ketetapan Allah pasti akan terjadi Apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan Dia tidak mampu melainkan karena Dia tidak menghendakinya.
            Firman-Nya    وَإِن تُصِبۡهُمۡ حَسَنَةٌ۬      “jika mereka mereka memperoleh kebaikan”. Yaitu kesuburan rizki buah-buahan, tanam-tanaman, anak-anak dan yang sejenisnya.
يَقُولُواْ هَـٰذِهِۦ مِنۡ عِندِ ٱللَّهِۖ وَإِن تُصِبۡهُمۡ سَيِّئَةٌ  “mereka mengatakan: ini adalah dari sisi Allah dan kalau mereka ditimpa bencana”. Yaitu kekeringan dan kekurangan buah-buahan, tanam-tanaman, kematian anak-anak, gagalnya panen, dan lain-lain.   يَقُولُواْ هَـٰذِهِۦ مِنۡ عِندِكَ  “mereka mengatakan; ini dari sismu ya Muhammad”. Karena mereka telah mengikuti nabi Muhammad  dan juga agamanya, sehingga mereka beranggapan itu ulaha nabi Muhammad.[6]
       Demikianlah perkataan orang-orang munafik yang masuk kedalam islam secara zhahir, padahal mereka benci padanya (islam). Untuk itu jika mereka ditimpa suatu keburukan , mereka menisbatkan (menyandarkan) hal itu dengan sebab mereka mengikuti Nabi saw. Maka Allah menurunkan  قُلۡ كُلٌّ۬ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ‌  “katakanlah: semua datang dari sisi Allah”.
       Firman-Nya     قُلۡ كُلٌّ۬ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ‌     “katakanlah: semua datang dari sisi Allah”. Yaitu seluruhnya dengan qadha’ (putusan) dan Qadar (ketentuan) Allah. Allah-lah yang menentukan sesorang itu baik atau jahat, mukmin atau kafir.
Kemudian Allah berfirman mengingkari orang-orang yang mengucapkan kata-kata yang muncul dari keraguan dan kebimbangan, kurang paham dan kurang berilmu serta bertumpuknya kejahilan dan kezaliman,   فَمَالِ هَـٰٓؤُلَآءِ ٱلۡقَوۡمِ لَا يَكَادُونَ يَفۡقَهُونَ حَدِيثً۬ا  “maka mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun”.
     Kemudian Allah berfirman kepada rasulnya , walaupun tujuannya adalah untuk seluruh manusia sebagai jawaban,  مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٍ۬ فَمِنَ ٱللَّهِ  “apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah” yaitu dari karunia, kenikmatan, kelembutan dan kasih sayangnya.
وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ۬ فَمِن نَّفۡسِكَۚ “dan apa-apa bencana yang menimpamu, maka dari dirimu sendiri”. Yaitu dari sisimu dan dari perbuatanmu. Sebagaimana firman Allah “dan apa saja musibah yang menimpamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).(QS. Asy-syura:30)
As-suddi, al-Hasan al Bashri, Ibnu Juraij dan Ibnu Zaid berkata  فَمِن نَّفۡسِكَۚ  “dari dirimu sendiri”. Yaitu dengan sebab dosamu. Qatadah berkata tentang ayat ini  فَمِن نَّفۡسِكَۚ “dari dirimu sendiri” sebagai sangsi bagimu, hai anak adam, disebabkan dosa-dosamu.[7]
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Mutharrif bin ‘abdillah, ia berkata: “apa yang kalian maksudkan dengan qadar. Apakah tidak cukup bagi kalian ayat yang terdapat dalam surat an-Nisa’: “Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)"(QS. Al-Nisa’/4: 78). Yaitu dari dirimu sendiri . demi Allah, mereka tidak diserahkan sepenuhnya kepada takdir. Mereka telah diperintah dan sesuai takdirlah akhirnya urusan mereka.”[8]
Firman Allah وَأَرۡسَلۡنَـٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً۬ “Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia”. Yaitu engkau sampaikan kepada mereka syari’at-syari’at Allah, apa yang dicintai dan diridhai-Nya, serta apa yang dibenci dan tidak disenangi-Nya.
 وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَہِيدً۬ا “Dan cukuplah Allah sebagai saksi”. Yaitu, bahwa Allah telah mengutusmu, dan Allah pula yang menjadi saksi antara kamu dan mereka. Allah Maha Mengetahui tentang apa yang telah engkau sampaikan kepada mereka, serta tentang penolakan mereka terhadap kebenaran yang berasal darimu, karena kufur dan pembangkangan.

G. Kesimpulan
       Berdasarkan hasil paparan makalah diatas mengenai kajian ayat-ayat tentang qadha’ dan qadar maka dapat disimpulkan menjadi beberapa poin sebagai berikut:
1.      Qadha’ dan qadar selalu berhubungan erat.
2.      Qadha’ adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah SWT sejak zaman Azali. Sedangkan qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah SWT. Jadi hubungan antara qadha dan qadar ibarat rencana dan perbuatan.
3.      Ketetapan Allah pasti akan terjadi apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan Dia tidak mampu melainkan karena Dia tidak menghendakinya.
4.      Kematian adalah salah satu dari ketentuan Allah yang telah ditetapkan-Nya, dan pasti tidak akan dapat terelakkan jika Allah telah menentukan waktu, keadaaan, sebab dan juga tempat terjadinya kematian itu.
5.      Apa saja yang diperoleh yang berupa kebaikan (baik berupa karunia, kenikmatan, kelembutan, kasih sayang dan lain-lain) merupakan berasal dari Allah. Sedangkan apa saja bencana yang menimpa manusia, itu merupakan akibat dari dosa-dosanya.
6.      Iman terhadap qadha dan qadar sangat diperlukan dalam menghadapi berbagai masalah yang pasti akan kita temui contohnya dalam dunia pendidikan, dengan beriman kepada qadha dan qadar kita meyakini bahwa apa pun yang menimpa diri kita telah di atur oleh Allah dan tugas kita hanyalah berusaha.
7.      dalam proses belajar mengajar (dunia pendidikan) kita harus meyakini bahwa Allah SWT telah meggariskan kepada kita sesuatu yang baik dan kita tidak boleh berputus asa dari rahmatnya karena tugas kita hanyalah belajar , dan keputusan mengenai hasil dari usaha kita tersebut hanya Allah lah yang maha mengetahui.

















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al Sheikh. Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 2. Kairo: Mu-assasah Daar al Hilaal, 1994
Departeman Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah. Volume 2. Jakarta: Lentera Hati, 2002



[1] Departemen Agama RI,  Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 68

[2] Departemen Agama RI,  Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 90
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), volume 2, h. 235
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 235-236
[5] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al Sheik, Tafsir Ibnu Katsir, (kairo: Mu-Assasah Daar Al Hilaal, 1994), jilid 2, h. 359.

[6] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al Sheik, Tafsir Ibnu Katsir, h. 358.
[7]Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al Sheik, Tafsir Ibnu Katsir, h. 359
[8]Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al Sheik, Tafsir Ibnu Katsir, h. 359

3 komentar:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Mohon izin save , semoga berkah

    ReplyDelete
    Replies
    1. tafazzal .., smoga bermanfaat . dan juga mohon dikoreksi apabila terdapat kesalahan ..!!

      Delete